Selasa, 24 September 2013

Ganti Profesi? Siapa Takut!!

sumber gambar : kabar24.com
Hidup memang pilihan.. Sesampainya ingatan, sepertinya pertama kali memilih hal penting dalam hidup adalah ketika  saya mau memasuki jenjang pendidikan SLTP. Bingung, SMP mana yang akan saya masuki, apakah SMP N 1 (tempat ngumpulnya anak pintar), SMP 2 (tempat ngumpulnya anak pintar yang gak bisa masuk SMP N 1), atau SMP N 12 (tempat ngumpulnya anak-anak yang terlalu kreatif untuk bisa masuk SMP N 1 atau SMP N 2). Padahal (tapi ini rahasia lho ya), NEM saya itu cuma cukup untuk masuk SMP N 12, hehe..  Ini sih bukan memilih ya namanya. Tapi terpilih untuk masuk di SMP N 12 Balikpapan. Mungkin karena memang saat itu saya terlalu kreatif untuk bisa di sekolah di sekolah unggulan.

Ok ok.. I’m sorry about my story  at first paragraph. Intinya, hidup itu memang pilihan. Dan itu terjadi saat saya mau masuk kuliah (ini beneran, kalau gak beneran silakan potong kuku anda). Saat itu saya menunggu pengumuman hasil  SPMB di UNMUL jurusan pendidikan matematika, dan saat itu juga saya diterima di Poltekkes Samarinda Jurusan Keperawatan (yang ini saya ikut tes perawat Cuma iseng dan ikut-ikut teman aja). Saya ingin sekali kuliah di UNMUL saat itu, tapi Allah bantu saya untuk memilih. Poltekkes memberikan batas akhir pembayaran uang masuk sebelum pengumuman UNMUL akan diumumkan. Jadi ya, dengan senang hati  saya melepas keinginan saya untuk kuliah pendidikan matematika, dan memilih untuk menjadi mahasiswa perawat. Daripada saya menunggu pengumuman ternyata tidak lulus, sementara di Poltekkes sudah melewati batas akhir pembayaran, masa iya saya harus bingung lagi cari kampus yang mau menerima saya. Padahal lulus tes di dua kampus itu sudah membuat keluarga saya tercengang-cengang, kok bisa saya lulus.. hehe..

Thats a little story about my life
Sekarang kita kembali ke judul. Kuliah perawat, ya biasanya profesinya  perawat. Dan memang itulah profesi saya sekarang  ini. Sekarang saya bekerja sebagai  perawat di sebuah perusahaan Construction and Engineering. Tapi, sekarang ini juga saya sedang berusaha untuk alih profesi. Saya sedang melamar pekerjaan sebagai Safety Officer. Ntah apakah akan diterima atau tidak yang jelas saya sudah lulus tes tertulis dan dua tes wawancara. Sebagian perawat mungkin mereka idealis untuk mempertahankan profesinya sebagai perawat. Hidup mati untuk perawat. Saya pun seperti itu, hanya  saja saya menganggap menjadi perawat itu tak melulu harus bekerja sebagai perawat. Istri saya juga perawat, tapi dia sedang mengemban tugas yang tak kalah mulia bahkan lebih mulia menurut saya, menjadi seorang ibu rumah tangga. Tapi apakah dia bukan perawat? Bagi saya dia tetap perawat, karena dia telah lulus pendidikan perawat, dan dia telah diangkat sumpah sebagai perawat. Ditambah lagi, sekarang memang dia merawat anak-anak saya di rumah..hehe.. perawat kan?

Bekerja sebagai perawat merupakan pilihan dalam mencari rezeki, dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang perawat. Tapi seorang perawat tak hanya bisa bekerja sebagai perawat saja, dia bisa mengembangkan diri ke bidang lain, dan itu juga pilihan baginya. Makanya tak jarang saya mendengar bahwa ada perawat yang sekarang fokus jualan soto di warung makannya yang sukses sekarang ini, ada juga perawat yang sekarang sudah menjadi HSE Manager di sebuah perusahaan besar, ada juga perawat yang tetap bekerja sebagai  perawat. Semua dari mereka adalah perawat, apapun pekerjaannya. Iya kan?
Oleh karena itu, tetap bekerja sebagai perawat atau tidak, bukanlah sebagai tolak ukur keidealisan seorang perawat. Karena banyak yang tetap bekerja perawat, tapi sejatinya jiwanya bukanlah seorang perawat, melayani pasien sekedarnya saja, dan lain sebagainya. Tapi hatiku tetaplah perawat walaupun mungkin nantinya saya tidak lagi memilih untuk bekerja sebagai seorang perawat.
Jalan berkembang itu banyak, ganti pekerjaan, atau bahkan beralih ke “berjualan saja” bisa jadi pilihan selain tetap fokus di pekerjaan yang ada sekarang.  Jadi, jika kita memandang ada jalan untuk berkembang, ya jalankan. Ijazah atau gelar di sebuah bidang jangan sampai jadi penghalang. Tak ada yang sia-sia, semuanya bermanfaat -insyaAllah-  selama kita jalani dengan penuh semangat dan keyakinan. Dan jangan lupa agar selalu berdoa agar Allah senantiasa memberikan yang terbaik untuk kita.


Selasa, 10 September 2013

I’m Sorry I Can’t Speak English Well

Hmm.. Meskipun judulnya pakai bahasa inggris, tapi tulisannya masih pakai bahasa Indonesia. Karena AKU CINTA INDONESIA. Tapi itu Cuma alasan yang dijadikan pelindung supaya orang tidak mengira bahwa I CAN’T SPEAK ENGLISH WELL.

Hmm.. tapi kok saya jadi ingat pesan seorang teman chating waktu di mirc dl “Never say i cant speak english well to another speaker, just try  to speak” kurang lebihnya begitu. Intinya kalau mau bicara ke orang asing langsung saja bicara dengan bahasa Inggris, jangan pernah membuka pembicaraan dengan mengatakan “i’m sorry, i can’t speak english well”, karena itu aneh. Cukup kita mencoba bicara, dia akan mengerti bahwa kita sedang mencoba berbicara bahasa inggris. Semenjak saat itu saya tak pernah lagi mau bilang ke orang lain di dalam percakapan saya bahwa i can’t speak english well.

Hmm.. ngomong-ngomong soal English, saya termasuk diantara orang yang menyesal karena tidak belajar bahasa inggris. Yah, meskipun..lebih tepatnya saya menyesal karena tidak  meneruskan pelajaran bahasa inggris di kursus bahasa inggris ketika saya masih sekolah dulu. Tapi yang lebih saya sesalkan adalah saya tidak pernah lagi menggunakan kemampuan berbahasa inggris saya sejak berhenti dari kursus. Padahal saat itu kemampuan saya dalam hal speaking, listening, writing dengan menggunakan structure  and grammar yang benar sudah  terbilang cukup baik, dan akan berpeluang bagus bagi saya jika saya meneruskannya waktu itu.

Hmm..  Tapi begitulah, meskipun bagi saya bubur itu enak, tetap saja itu sudah bukan nasi lagi namanya.  Segalanya sudah terlanjur, itu kesalahan di  masa lalu. Padahal waktu  kuliah, saya sempat dipercaya teman-teman untuk ikut  speech contest di kampus, dan alhamdulillah saya  juara ke tiga saat itu. Tapi yang jadi  pertanyaan saya sampai sekarang adalah, apakah itu  juara 3 dari  belakang, atau dari depan? Karena pesertanya ternyata cuman ada 5. Seandainya saja pesertanya 20, apakah saya tetap juara 3 atau juara 18? Harusnya moment saat itu saya jadikan motivasi baru untuk memulai kembali masa-masa emas saya dalam berbahasa inggris. Tapi nyatanya tidak. Saya memilih malas, dan baru sekarang merasakan akibat dari kemalasan itu.

Tapi saya gak boleh patah semangat, meskipun masa-masa tersebut sudah sekitar 10 tahun yang lalu,  saya yakin masih ada sisa skill walau hanya sedikit. Dan mungkin cukup bagi saya untuk berlatih kembali untuk bisa terbiasa menggunakan bahasa inggris di tempat dan waktu yang diperlukan untuk berbahasa inggris.
Mungkin bisa dengan membaca buku atau artikel bahasa inggris, update status facebook dan komentar dengan bahasa inggris  (ini sih biasanya lebih pas dilakukan di grup  berbahasa inggris atau grup belajar bahasa inggris), menulis bahasa inggris, dan membaca tulisan-tulisan berbahasa inggris dengan bersuara, dan akan lebih cepat lagi (katanya) jika kita bisa memiliki partner native speaker  yang mau diajak berbicara dalam rangka belajar.

Tapi kira-kira butuh berapa lama ya untuk kembali bisa lagi?? Ah.. tak perlu lah saya pikirkan itu. Just try and try. Begitu juga dengan kamu yang senasib dengan saya. *senyum*

huruhary

Karyawan Versus Pengusaha

Bekerja sudah sering dimaknai secara khusus sebagai aktivitas seorang karyawan yang bekerja di bawah perintah orang lain. Adapun orang yang mandiri dalam mencari penghasilan lebih sering disebut berwirausaha. Thats no problem, saya juga menganggap bekerja itu berarti menjadi karyawan, meskipun saya tahu bahwa berwirausaha itu juga disebut bekerja.

Yang jadi masalah adalah ketika kita mempersepsikan bahwa jika mau sukses ya harus berwirausaha, kalau masih bekerja berarti belum sukses. Bahkan ada yang lebih ngeyel lagi dengan mengatakan “walaupun usahanya sukses, tapi kalau dia masih sambil kerja sama saja belum sukses”. Sehingga sukses itu hanya bisa digapai oleh pewirausaha murni, bukan seorang karyawan, atau campuran antara karyawan dan pewirausaha.  Extreme kan?

Bagi saya intinya adalah mencari rezeki yang halal dan barokah. Urusan jumlah, meskipun sebagian besar dari kita bilang itu relatif, tapi tetap saja semua dari kita ingin meraih sebanyak-banyaknya, iya kan? Dan jalan untuk mencapai itu sangatlah luas, sehingga tidak ada satu orangpun yang boleh menjadikan sempit jalan tersebut.

Ya kalau kita membandingkan antara karyawan kecil yang sudah bertahun-tahun betah hidup bersama statusnya itu dengan pengusaha sukses yang sudah bertahun-tahun pula membangun impiannya hingga bisa sesukses itu, tentu kita ingin seperti pengusaha sukses ini.
Tapi coba kita bandingkan antara pedagang kaki lima berpendapatan pas-pasan yang bertahun-tahun jualan dengan kios kecilnya yang kadang-kadang sudah buka 24 jam tapi  tetap saja hasilnya minim, dan dia betah dengan cara hidup yang seperti itu, dengan seorang karyawan dengan bayaran 3 juta per hari tanpa harus banting tulang peras keringat, cukup duduk di ruang ber-AC, fasilitas makan, olahraga, perumahan sudah disediakan, bahkan uang pensiun dengan jumlah yang sangat  besar sudah menanti dia, kesehatan pun dijamin. Tentu kita ingin seperti karyawan sukses ini.

Tapi sepertinya tetap saja ada yang memilih lebih baik punya kios kecil dengan hasil kecil tapi mandiri, daripada gaji besar tapi masih menjadi karyawannya orang. Mereka berdalilkan sebuah pepatah “lebih baik jadi tikus tapi kepala, daripada harimau tapi ekor”.

Di sini saya ingin menegaskan bahwa menjadi wirausahawan adalah jalan terbaik dalam mencari rezeki (setidaknya ini menurut saya), tapi menjadi karyawan bukanlah sebagai bentuk ketidakmampuan, kebodohan, kerendahan, dan lain sebagainya. Keduanya adalah bentuk usaha manusia di dalam memenuhi kebutuhan dan impian hidupnya. Dan masing-masing dari keduanya akan dinilai dari bagaimana dia menjalaninya.

Ada karyawan yang dia memulai karir dari seorang karyawan kecil, namun karena dia belajar dengan keras akhirnya dia bisa mengejar karirnya sampai bisa berpenghasilan 3juta per hari, bahkan ada yang lebih dari itu. Ada juga wirausahawan yang karena dia orangnya malas belajar, malas berinovasi, dan tidak ada motivasi berubah, akhirnya usahanya berjalan di tempat. Hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.
Kadangkala seorang karyawan mampu memposisikan dirinya sebagai penjual jasa, sehingga seringkali perusahaan sangat membutuhkan skillnya dan mampu membayar mahal asalkan dia mau bergabung bersama perusahaan. Bahkan seringkali karyawan ini harus memilih dari sekian tawaran dari perusahaan yang menghubunginya. Tapi kadangkala seorang wirausahawan justru memposisikan dirinya seperti karyawan, siap didikte oleh investor dikarenakan merasa usahanya telah dibiayai, yang dia tau hanya bergerak sesuai apa yang investor mau, per periode tertentu dia harus membuat laporan usahanya, berapa omzet dan keuntungan yang didapat, dan berapa jatah dia setelah menjalankan usaha tersebut.

Maka poinnya bukan pada “siapa  dia”, tapi “bagaimana dia”. Karyawan, wirausahawan, ataupun campuran dari keduanya, selama menjalankannya dengan giat dan smart insyaAllah dia akan memetik hasil yang dia harapkan bahkan mungkin dia tidak duga.

Tapi tetap saja saya katakan bahwa menjadi wirausahawan adalah jalan terbaik dalam mencari rezeki, karena di dalamnya terdapat banyak sekali nilai plus dibanding menjadi karyawan atau campuran dari keduanya. Hanya saja, jangan pernah menilai lebih rendah non wirausahawan, karena bisa jadi nilai plus yang ada pada wirausahawan tersebut hilang satu, dua, atau sekian banyak dikarenakan cara yang tidak benar dalam menjalaninya. Sehingga tak jarang pepatah yang kita sebutkan di atas bisa dijawab “biarpun hanya ekor, tetap saja aku adalah harimau. Meskipun kamu itu kepala, tapi tetap saja kamu itu tikus”.
“Don’t judge a book by its cover” sekiranya pepatah ini saya gunakan agar saya tidak menjadikan “karyawan atau wirausahawan” sebagai standar penilaian, tetapi “bagaimana mereka melakukan” yang perlu kita perhatikan agar tidak salah dalam menilai.

Hary Kurniawan

1 September 2013 
Diberdayakan oleh Blogger.